Friday, March 9, 2012

Menggapai Impian, Merengkuh Cinta


Sebuah Kisah Inspiratif Tentang Impian, Prinsip Hidup, Cinta, dan Hidayah






Naila Rachmawati, seorang gadis asal Pare, kota kecamatan di wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memiliki impian untuk menjadi Sarjana dan mendapatkan pekerjaan kantoran. Dilatarbelakangi perceraian orangtua dan keterbatasan ekonomi keluarganya, Naila bertekad untuk mewujudkan impiannya. Ia hijrah ke Surabaya demi mewujudkan impian-impiannya. Naila yakin setiap makhluk hidup telah diberi kemampuan untuk memperbaiki nasibnya. Tinggal bagaimana kemampuan itu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Seperti siput yang mencari makan dari dedaunan, semut yang bergotong royong mengumpulan butiran gula, atau cicak yang berburu nyamuk. Di Surabaya, ia bertemu Erick, seorang pemuda asal Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja diwisuda. Erick menentang keinginan mamanya untuk pulang ke Palu dan membantu bisnis properti papanya demi mempertahankan prinsip hidupnya, untuk mandiri dan meraih masa depan dengan keringatnya sendiri. Ia pun bermimpi memiliki biro terjemahan yang profesional hasil jerih payahnya sendiri. 
          Naila diterima sebagai penerjemah di kantor Erick. Lalu mereka saling jatuh cinta. Akankah Erick dan Naila berhasil mewujudkan impiannya masing-masing? Akankah mereka berjodoh? Lalu siapa Izzul? Siapa Deeya? Bagaimana hubungan Izzul dengan Naila? Bagaimana Naila menemukan hidayah yang menjadi titik balik dalam hidupnya?
           Temukan jawabannya dalam novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta. Sebuah kisah inspiratif tentang impian, prinsip hidup, cinta, dan hidayah. Di dalamnya, ada liku-liku perjuangan menggapai impian, kisah cinta yang mengharukan, persahabatan yang menyentuh hati, dan indahnya cinta setelah dihalalkan dengan pernikahan.  


Order & Kontak langsung dengan penulis by: 

SMS 081 553 025 569 
Email : novelmimc@gmail.com
FB : Bening Koleksi (beningcollection@yahoo.com) 
 Bab I, Sebuah Impian



Seekor siput menempel di sebuah pot bunga di halaman restoran, tempat Naila bekerja. Naila tertegun. Gerak-gerik makhluk kecil berwarna kecoklatan itu menarik perhatiannya. Ia berusaha menjelajah dari satu pot bunga ke pot bunga yang ada di depannya. Di antara kedua pot bunga itu terdapat celah yang panjangnya kurang lebih 8 cm dan tubuhnya tidak cukup panjang untuk menjadi jembatan agar ia bisa sampai ke pot bunga seberang. Si siput berjalan pelan, beringsut maju seolah berusaha mengurangi jarak yang membentang di hadapannya. Naila mengamatinya dengan seksama. Ia penasaran, akankah siput kecil itu mampu melakukannya?
          Sekarang ia berada di bibir pot, Naila takut ia terjatuh ke tanah. Tetapi sepertinya siput itu memiliki banyak akal. Ia menjulurkan kepalanya untuk menjangkau bibir pot bunga di seberangnya. Sayang masih kurang panjang, kepalanya menggantung di tengah-tengah, di antara pot bunga tempatnya berpijak dengan pot bunga yang ia tuju. Hati Naila berdebar, khawatir kalau ia benar-benar terjatuh kali ini. Naila terus memperhatikan. Siput diam sejenak seperti sedang berfikir. Selanjutnya ia kembali memanjangkan kepalanya. Kali ini ia memanjangkan tubuh bagian belakangnya juga. Dan . . . berhasil!  Bibir Naila menganga keheranan. Kepala siput itu telah menyentuh bibir pot bunga seberang sementara tubuh belakangnya masih berada di bibir pot bunga semula. Kemudian ia membalik badan dan rumahnya menggantung di bawah. Tubuhnya yang merentang antara kepala dan tubuh bagian belakangnya telah menjadi jembatan baginya untuk sampai ke seberang. Setengah menit kemudian, rumahnya beringsut, perlahan-lahan bergeser maju. Pandangan Naila tak sedikit pun beralih dari siput itu. Ia mengamati kerja keras yang dilakukannya. Sedikit lagi, satu . . . dua . . . tiga . . . , Yes! Naila girang. Sekarang siput itu sudah sampai ke pot bunga seberang. Ia dan rumahnya kini telah benar-benar berada di pot bunga yang ia tuju. Ia menyusutkan tubuh bagian belakangnya, kemudian berjalan pelan seolah memperkuat posisi pijaknya di pot bunga itu.
          Naila tercenung. Kejadian yang baru saja ia lihat seolah menunjukkan bahwa setiap makhluk hidup harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Allah telah memberikan kemampuan pada setiap makhlukNya, tinggal bagaimana kemampuan itu bisa digunakan semaksimal mungkin.  
          Naila masuk kembali ke restoran dan mengambil setumpuk napkin[1] yang sudah disetrika dari ruang housekeeping. Sebentar kemudian tangannya sibuk melipat napkin-napkin itu hingga menjadi lipatan berbentuk bunga. Sebelum restoran dibuka, semuanya sudah harus tertata rapi. Naila lalu berdiri, berkeliling dari satu meja ke meja lain untuk mengontrol perlengkapan table-setting. Ada tiga meja yang masih belum diset-up. Naila segera mengerjakannya. Ia melangkah ke meja nomor 8, memasang alas makan, meletakkan sumpit di sebelah kanan, napkin di sebelah kiri, dan mangkok sayur beserta sendoknya di tengah. Ia melakukannya berurutan di depan keempat kursi yang ada di meja itu. Selanjutnya ia teruskan ke meja nomor 11 dan 12. Mahnun dan Iwan, temannya sesama pelayan di restoran ini, sedang mengecek nyala api kompor di tiap-tiap meja. Meja-meja di restoran Jepang yang menyajikan Shabu-shabu dan Yakiniku sebagai menu utamanya, memang berbeda dengan meja-meja di restoran lainnya. Bagian tengah meja sengaja dilubangi untuk meletakkan kompor dan hotplate yang di atasnya lagi diberi panci stainless kecil. Tujuannya adalah agar para tamu bisa memasak sendiri bahan makanan mentah atau setengah matang yang mereka ambil dari display. Setelah kompor dinyalakan, seorang pelayan akan menuangkan kuah panas ke dalam panci. Kemudian mereka bebas mengambil apa saja yang ada di display untuk direbus dalam kuah panas itu atau dipanggang saja dengan bumbu saus di atas hotplate. Beraneka ragam sayur mayur, fillet aneka ikan laut, lidah sapi, daging sapi dan ayam, udang, cumi, kepiting, bakso sapi, bakso ikan, atau beef burger, semuanya ditata cantik di dalam cooler dan di atas display panjang yang di depannya dipasang kaca. Salad sayur dan buah sebagai makanan pembuka dan aneka irisan buah beserta jajanan tradisional sebagai makanan penutup juga telah disiapkan. Mereka bebas mengambilnya dengan piring-piring kecil yang telah disediakan dalam bufet-bufet yang berjajar di depan display untuk kemudian membawanya ke meja dan memasaknya sendiri. Jika sedang malas memasak, pelayan akan memasakkannya untuk mereka. Mereka juga boleh makan dan minum sepuasnya karena harga dihitung per orang, bukan per porsi makanan seperti di restoran-restoran lain.
          Naila berkeliling sekali lagi ke ruangan utama restoran. Tampaknya semua sudah siap. Meja-meja dan kursi tamu telah tertata rapi beserta perlengkapannya. Display makanan dan piring-piring dalam bufet sudah tertata apik. Display minuman juga sudah lengkap. Hanya lukisan seorang perempuan Jepang berpakaian kimono merah marun di dinding kanan restoran sedikit miring, Naila membetulkan posisinya. Pak Imron, satpam restoran, membuka pintu gerbang, pertanda restoran sudah siap beroperasi. Di lantai bawah ada 5 orang yang bertugas untuk shift 1. Lisil di meja kasir, Maria sebagai petugas greeting di depan pintu, Mahnun, Iwan, dan Naila sebagai pelayan, dan Ibu Ririn bertindak sebagai pimpinan restoran. Di lantai atas beberapa koki dan asistennya bekerja mempersiapkan segala keperluan menu display dan beberapa menu tambahan.
          Satu jam setelah restoran dibuka biasanya masih belum banyak tamu yang datang. Menjelang makan siang baru setiap meja di restoran ini akan penuh terisi. Naila masuk ke toilet sekedar untuk merapikan diri. Ia membetulkan kuncir rambutnya. Dipandanginya wajahnya di depan cermin. Matanya terlihat lelah karena semalaman ia begadang mengerjakan tugas kuliah. Naila membasuh muka, memakai bedak, dan memoles tipis bibirnya dengan lipgloss agar tidak kelihatan pucat.
          Sudah dua tahun lebih Naila bekerja sebagai pelayan di restoran Jepang ini, Ichiban Japanese Restaurant. Pekerjaannya menuntut porsi tenaga fisik yang cukup besar. Begitu datang ke restoran ini, Naila memulai pekerjaannya dengan mengelap piring, sendok, mangkuk-mangkuk nasi, dan semua peralatan makan lainnya. Kemudian ia lanjutkan dengan melipat napkin, membersihkan meja, table setting, dan mengontrol ruangan. Setelah persiapan ini selesai, ia dan teman-temannya sesama pelayan, harus berdiri stand by untuk memastikan bahwa semua yang dibutuhkan para tamu dilayani dengan baik. Mereka dituntut untuk selalu ramah dan terlihat rapi. Apalagi jika ada reservasi untuk pesta ulang tahun atau acara-acara penting perusahaan.
          Pada Sabtu, Minggu, atau hari-hari libur bisa dipastikan restoran akan penuh, bahkan tamu-tamu sampai mengantri di depan restoran karena tidak mendapatkan meja. Pada hari-hari ini bisa dipastikan seluruh pelayan, koki, dan asistennya harus kerja lembur beberapa jam. Memang ada uang lembur yang diberikan sebagai kompensasinya, namun jumlahnya tidak sebanding dengan kelelahan fisik yang dirasakan Naila. Belum lagi jika ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Sebenarnya Naila ingin meninggalkan pekerjaan ini dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan yang lebih menggunakan otak, bukan fisik. Naila ingin sekali mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa Inggris, bidang yang sangat disukainya. Tetapi mencari pekerjaan di Surabaya tidaklah mudah. Setahun belakangan ini banyak lamaran pekerjaan sudah ia kirimkan. Wawancara kerja pun telah ia jalani berkali-kali tetapi hasilnya masih nihil. Bagi lulusan SMA yang hanya berbekal sertifikat kursus komputer dan mengetik seperti Naila, mendapatkan pekerjaan kantoran sama sulitnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Walaupun begitu Naila harus bersyukur karena sarjana juga masih banyak yang menganggur di kota ini. Apalagi dengan uang yang ia sisihkan sedikit demi sedikit dari gajinya, Naila bisa kuliah. Ia kini telah tercatat sebagai mahasiswi semester dua kelas sore di Fakultas Sastra Inggris, Universitas DR. Soetomo (Unitomo) Surabaya. Impian yang sudah ia angankan sejak masih duduk di bangku SMP, menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan layak sebagai orang kantoran. Impian pertama sedang ia tapaki. Mudah-mudahan impian kedua juga segera ia gapai. Naila percaya biar pun melelahkan, perjuangan akan sampai pada hasilnya. Ia yakin akan mampu mewujudkan impiannya satu demi satu.
          “Naila, ada bule!” teriak Mahnun dari luar toilet.
          “Iya,” jawab Naila yang kemudian bergegas ke ruang utama restoran.
           “Good afternoon, Sir! Can I help you?”
          Kali ini tamu pertamanya adalah dua pria asing yang sepertinya berasal dari Eropa. Yang satu berpostur tinggi besar, rambutnya pirang, dan kulitnya kemerahan. Yang satu lagi kurus, tinggi, kepalanya agak botak, dan berkumis. Dua-duanya bermata biru.   
          “Good afternoon. Can I have other than Shabu-shabu and Yakiniku?” jawab pria asing yang berpostur tinggi besar.
          “Sure. Other than Steaks, we have Thailand specialties. If you like spicy soup, we have Tom Yam, or if you would like to eat bigger meal, we have fried rice and noodles cooked with seafoods in Thailand’s seasonings.”
          Ia melihat-lihat buku menu sebentar.
          I think Tom Yam will be good. One medium beer for me, and a small plate of fruit salad.
          “Okay, would you like your beer served with ice, Sir?”
          “No...no...just cold, but no ice.”
          “Fine, and what would you like to eat, Sir?” tanya Naila pada pria berkumis yang duduk di sebelahnya.
          “Give me fruit salad, Tenderloin steak, and lemon tea with ice.”                                  “Okay, let me summarize. One Tom Yam, one medium cold beer without ice, two fruit salads, and one lemon tea with ice. Anything else, Sir?”
          “No, thank you.”
          Naila naik ke lantai 2 dan menyerahkan nota order tamunya pada koki. Selain Shabu-shabu dan Yakiniku, restoran ini juga menyediakan aneka steak dan beberapa menu masakan Thailand. Lima belas menit kemudian, ia sudah kembali dan mempersilahkan kedua tamunya menikmati pesanan mereka.
          Satu hal lagi yang harus disyukuri Naila. Di restoran ini ia selalu punya kesempatan untuk berlatih percakapan dengan tamu-tamu asing yang makan di sini. Tentunya ini akan meningkatkan skill bahasa Inggrisnya. Untunglah dua tahun ini Naila belajar bahasa Inggris secara intensif dari buku-buku, koran, dan majalah bahasa Inggris sehingga ia bisa memahami dan merespon apa yang dibicarakan tamu-tamu asing itu. Ia juga menerjemahkan artikel-artikel ringan dari majalah dan koran bahasa Inggris untuk memperkaya kosa kata bahasa Inggrisnya. Selain itu, mata kuliah Speaking dan Listening Comprehension yang ia dapatkan di kampus banyak membantu. Walaupun kadang-kadang Naila masih merasa kalau bicara mereka sangat cepat dan intonasinya sulit ditirukan, ia tidak patah semangat. PR-nya masih sangat banyak. Jalannya masih panjang. Masih banyak yang harus ia pelajari demi menggapai impian-impiannya. Sesungging senyum terbentuk di bibir Naila saat membayangkan kalau suatu hari ia akan pulang sebagai orang yang sukses, berpendidikan, dan memiliki pekerjaan mapan.


*****


          Sesosok pemuda berdiri di balik jendela. Pandangannya menerawang jauh ke luar, menembus gumpalan awan-awan putih di langit Jakarta yang panas. Di kepalanya sedang terjadi pertarungan hebat. Dua hal yang menimbulkan keresahan bergelut sengit dan sama-sama berusaha saling mengalahkan. Sebuah tekad untuk mandiri dan rasa tidak sampai hati melihat mamanya memohon-mohon agar ia pulang ke Palu. Empat tahun ia hidup di Jawa demi menyelesaikan studinya. Itu pun setelah ia mati-matian membujuk mamanya agar mengizinkannya kuliah di Jawa. Sekarang kuliahnya sudah selesai. Beberapa hari lalu ia diwisuda. Ia hanya tinggal menunggu ijazahnya keluar minggu depan. Bukan karena ia tidak mau berkumpul kembali dengan orangtua dan adiknya di kampung halaman atau meneruskan bisnis properti yang dijalankan papanya di sana. Semuanya karena ia adalah seorang lelaki. Dalam prinsipnya, lelaki tidak boleh seterusnya bergantung pada orangtua. Ia harus bisa berdiri sendiri, mencari masa depannya sendiri, dan bertanggung jawab penuh atas keluarganya nanti. Sudah cukup orangtuanya membiayai sekolahnya hingga ia menjadi sarjana. Papa dan mamanya telah memenuhi segala kebutuhannya. Kasih sayang dan materi, semuanya sudah diberikan orangtuanya lebih dari cukup, tak pernah kekurangan sedikit pun. Sekarang saatnya ia hidup dan mengukir masa depannya sendiri. Ia bahkan sudah memulainya beberapa bulan lalu setelah skripsinya selesai. Tanpa sepengetahuan orangtuanya ia bekerja sama dengan dua orang temannya, Rifki dan Mas Anang, menyewa sebuah tempat di Surabaya, tidak jauh dari rumah kosnya. Di tempat itulah ia memulai usahanya. Bersama mereka, belajar menjadi lelaki sejati, yang berjuang dengan tangan, kaki, dan keringatnya sendiri. Ia ingin seperti kakaknya yang sudah memiliki bengkel mobil cukup besar di Jakarta, hasil jerih payahnya sendiri.
          Kalau saja matanya tidak sayu dan pandangannya tidak redup, pemuda itu pasti sangat mempesona. Tubuh atletisnya dibalut celana jeans hitam dan kemeja kotak-kotak biru muda. Hidungnya mancung dan dua garis alisnya hampir bertaut. Kulitnya kecoklatan dan rambut lurusnya yang dibiarkan sedikit gondrong tapi rapi menjadikan ketampanannya sempurna. Sayang hatinya sedang gundah gulana sehingga keresahan lebih menonjol daripada pesonanya. Ia seperti sedang dipaksa makan buah simalakama. Jika tidak menuruti kemauan mamanya, ia takut hipertensi mamanya akan kambuh lagi dan membuat kondisinya drop. Dulu saat kakaknya pindah ke Jawa, tekanan darah mamanya pernah naik drastis dan dirawat beberapa hari di rumah sakit. Ia tak ingin hal itu terulang lagi. Tetapi kalau ia menuruti kemauan mamanya untuk pulang ke Palu dan membantu usaha papanya, sama saja ia melanggar prinsipnya sendiri. Ia menggelengkan kepala, buntu. Sama sekali tidak ada petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan. Gumpalan awan-awan putih yang terhampar luas di atas sana tak mampu menghentikan pertarungan sengit yang sedang berlangsung di kepalanya.
          Di belakangnya, seorang perempuan berusia lima puluh tiga tahun sedang menangis sesenggukan dalam pelukan Kak Lena, kakak iparnya. Dadanya naik turun berusaha menahan isak. Tubuhnya sedikit lebih kurus daripada lebaran lalu saat pemuda itu pulang. Sebagian kecil rambutnya mulai memutih.
          “Mama tak akan pulang tanpa Erick!” katanya masih dalam tangis sesenggukan.
          Kini pemuda itu bersimpuh di depan mamanya. Kedua tangannya memeluk lutut mamanya dan matanya menatap penuh harap ke wajah mamanya, memohon agar perempuan yang sangat dicintainya itu bisa memahami keinginannya.
          “Mama, mengerti Erick, Ma. Erick laki-laki. Erick harus belajar hidup. Erick ingin berbuat sesuatu yang membuat Mama dan papa bangga. Tolong, Ma. Erick janji akan sering-sering telepon Mama.”
          Perempuan itu mendesah. Teringat kejadian yang sama ketika Emil, anak pertamanya, memohon-mohon agar ia mengizinkannya pindah ke Jakarta demi merintis usahanya. Sekarang ia dihadapkan pada situasi yang sama. Di satu sisi, ia tidak ingin mengekang keinginan anak-anaknya. Di sisi lain, ia ingin anak-anaknya hidup di dekatnya agar ia bisa melihat dan mengunjungi mereka setiap saat. Hatinya selalu merasa tenteram bila ia telah memastikan bahwa anak-anaknya baik-baik saja, sehat, bahagia, dan tak kekurangan apa pun. Sementara pindah ke Jawa tidak mungkin ia lakukan. Baginya, Jawa, khususnya Jakarta dan Surabaya, terlalu bising untuk dijadikan tempat tinggal. Jawa lebih cocok dijadikan tempat berbisnis bagi orang-orang yang mencari uang dan kedudukan, bukan yang menginginkan ketenangan hidup di usia senja seperti dirinya. Dan ia pun harus menelan pil pahit itu, terpaksa mengizinkan anaknya tinggal jauh darinya. Haruskah ia menelan lagi pil pahit itu demi Erick?
          “Kalau hanya mendirikan usaha, di Palu juga bisa Erick. Papa akan mengajari Erick berbisnis dan Mama juga tak perlu jauh dari Erick. Empat tahun sudah cukup membuat Mama tersiksa. Apa nantinya anak-anak Mama akan hidup menjauh dari Mama semua?”
          Erick terdiam. Tangis mamanya membuat hatinya terasa pilu. Ia mengerti benar betapa mamanya sangat menyayanginya dan tak ingin jauh darinya. Kadang-kadang rasa sayang mamanya yang berlebihan membuatnya terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya meskipun sekarang mereka sudah dewasa. Setelah Kak Emil dan keluarganya pindah ke Jakarta, mamanya semakin memperlakukan Erick berlebihan. Ia menjadi lebih sentimentil, sensitif, dan ingin selalu berada di dekat anak-anaknya. Erick tahu, mamanya menginginkan anak perempuan dan setelah hampir 9 tahun berusaha mendapatkan bayi lagi, adiknya, Ibra, terlahir laki-laki. Jadilah mamanya memperlakukan mereka bertiga dengan lembut. Mamanya tidak pernah luput memperhatikan hal-hal kecil yang sudah biasa mereka kerjakan sendiri. Selama di Surabaya pun, mamanya sering menelepon Erick sekedar mengingatkan waktu makan dan belajarnya. Mamanya sering tidak membedakan perlakuannya pada Ibra yang masih SMP dengan Erick yang sudah mahasiswa. Hanya Kak Emil saja yang sudah tidak terlalu diperhatikan karena sudah ada Kak Lena yang mengurusinya. Seandainya Ibra tidak sedang mempersiapkan ujian kenaikan kelas, mamanya pasti akan mengajaknya serta ke Surabaya untuk menghadiri wisudanya. Itu semua karena mamanya ingin selalu berdekatan dengan anak-anaknya.
          “Mama, Erick melihat peluang besar di Surabaya. Mama doakan Erick. Kalau Erick berhasil dan bisnis Erick nanti sukses, Erick akan bawa Mama ke Surabaya. Kita semua pindah ke Jawa dan berkumpul lagi, Ma. Erick janji. Lagipula ada adik dan papa yang temani Mama, kan?”
          “Nanti setelah lulus sekolah, adikmu juga akan kuliah dan pindah ke Jawa, begitu kan Erick?”
          “Mama…, Erick mohon, Ma. Beri Erick waktu sebentar saja untuk membuktikan bahwa Erick mampu melakukan sesuatu yang membuat Mama dan papa bangga.”
          Kali ini Erick membenamkan wajahnya ke pangkuan mamanya. Matanya terasa panas. Ia tidak tahu lagi cara apa yang harus ia gunakan untuk membujuk mamanya agar mengizinkannya tinggal dan merintis usaha di Surabaya.  
          “Mama sudah tua, Erick. Yang Mama inginkan hanya hidup tenang di kampung bersama anak-anak Mama,” suara Mamanya melunak.
          “Jangan bicara begitu, Mama. Erick mohon, beri Erick kesempatan untuk melakukan sesuatu dengan usaha Erick sendiri. Mama tak perlu khawatir. Di Jawa ada Kak Emil dan Kak Lena. Kalau ada apa-apa, Erick bisa telepon mereka kan, Ma? Lagipula Surabaya-Jakarta hanya satu jam. Kapan saja Erick mendapatkan kesulitan, Erick bisa minta tolong sama kakak.
          Nafas perempuan itu terasa sesak. Rupanya mau tidak mau sebuah pil pahit harus ia telan lagi. Tak sampai hati ia melihat anak kesayangannya memelas seperti itu. Ah, bukankah orangtua akan melakukan apa saja untuk anak-anaknya sekali pun itu membuatnya tersiksa? Ia menggigit bibir, berusaha menerima kenyataan ini sekali lagi.
          “Baiklah, Nak. Mama kasih waktu Erick dua tahun. Kalau dalam dua tahun Erick belum berhasil, Erick harus pulang ke Palu. Tak boleh ada alasan lagi. Erick sanggup?”
          Sanggup, Ma. Erick tak akan sia-siakan waktu yang Mama berikan.”
          Ia bangkit dan memeluk mamanya. Kepalanya terasa ringan, dadanya mendadak sangat lapang. Pertarungan itu telah selesai. Akhirnya ia mendapatkan izin dari mamanya untuk tinggal dan merintis usaha di Surabaya. Ia rasa dua tahun akan cukup untuk bekerja keras dan mengembangkan usahanya. Harus cukup, bisnis ini harus sukses dalam waktu 2 tahun, tekad Erick dalam hatinya.
          Kak Lena tersenyum lega. Dua keinginan yang bertolak belakang itu tidak akan pernah menemukan titik temu. Mamanya menginginkan anak-anaknya hidup di Palu, kampung halaman mereka, sedangkan anak-anaknya bersikeras ingin membawa orangtua mereka pindah ke Jawa. Tapi setidaknya salah satu sudah ada yang mengalah. Ia meninggalkan mertua dan adik iparnya berdua saja agar mereka lebih leluasa berbagi cerita dan kasih sayang. Ia tahu mertuanya sangat menyayangi anak-anaknya, terlebih Erick yang penurut dan tidak banyak tingkah. Ia juga memahami jiwa lelaki Erick yang ingin berpetualang dan hidup mandiri karena suaminya juga memiliki jiwa yang sama. Ia mengerti benar kalau apa yang dirasakan Erick sekarang ini sama persis dengan yang dirasakan suaminya beberapa tahun lalu. 

*****


[1]     Serbet makan