Bab I, Sebuah Impian
Seekor siput menempel di sebuah
pot bunga di halaman restoran, tempat Naila bekerja. Naila
tertegun. Gerak-gerik m
akhluk kecil berwarna
kecoklatan itu menarik perhatiannya. Ia berusaha menjelajah dari satu
pot bunga ke pot bunga yang ada di depannya. Di antara kedua pot bunga itu
terdapat celah yang panjangnya kurang lebih 8 cm dan tubuhnya tidak cukup panjang
untuk menjadi jembatan agar ia bisa sampai ke pot bunga seberang. Si siput berjalan
pelan, beringsut maju seolah berusaha mengurangi jarak yang membentang di
hadapannya. Naila mengamatinya dengan seksama. Ia penasaran, akankah siput
kecil itu mampu melakukannya?
Sekarang ia berada di bibir pot, Naila takut ia terjatuh ke tanah.
Tetapi sepertinya siput itu memiliki banyak akal. Ia menjulurkan kepalanya
untuk menjangkau bibir pot bunga di seberangnya. Sayang masih kurang panjang,
kepalanya menggantung di tengah-tengah, di antara pot bunga tempatnya berpijak
dengan pot bunga yang ia tuju. Hati Naila berdebar, khawatir kalau ia benar-benar
terjatuh kali ini. Naila terus memperhatikan. Siput diam sejenak seperti sedang
berfikir. Selanjutnya ia kembali memanjangkan kepalanya. Kali ini ia
memanjangkan tubuh bagian belakangnya juga. Dan . .
. berhasil! Bibir Naila menganga keheranan. Kepala siput itu telah
menyentuh bibir pot bunga seberang sementara tubuh belakangnya masih berada di
bibir pot bunga semula. Kemudian ia membalik badan dan rumahnya menggantung di
bawah. Tubuhnya yang merentang antara kepala dan tubuh bagian belakangnya telah
menjadi jembatan baginya untuk sampai ke seberang. Setengah menit kemudian,
rumahnya beringsut, perlahan-lahan bergeser maju. Pandangan Naila tak sedikit pun
beralih dari siput itu. Ia mengamati kerja keras yang dilakukannya. Sedikit
lagi, satu . . . dua . . . tiga . . . , Yes! Naila girang. Sekarang siput itu sudah sampai ke pot
bunga seberang. Ia dan rumahnya kini telah benar-benar berada di pot bunga yang ia tuju. Ia
menyusutkan tubuh bagian belakangnya,
kemudian berjalan pelan seolah memperkuat posisi pijaknya
di pot bunga itu.
Naila tercenung. Kejadian yang baru saja ia lihat seolah menunjukkan
bahwa setiap makhluk hidup harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya. Allah telah memberikan kemampuan pada setiap makhlukNya, tinggal
bagaimana kemampuan itu bisa digunakan semaksimal mungkin.
Naila masuk kembali ke
restoran dan mengambil setumpuk napkin
yang sudah disetrika dari ruang housekeeping. Sebentar kemudian tangannya sibuk melipat napkin-napkin itu hingga menjadi lipatan berbentuk bunga. Sebelum restoran
dibuka, semuanya sudah harus tertata rapi. Naila lalu
berdiri, berkeliling dari satu meja ke meja
lain untuk mengontrol perlengkapan table-setting.
Ada tiga meja yang masih belum
diset-up. Naila segera mengerjakannya.
Ia melangkah ke meja nomor 8, memasang alas makan, meletakkan sumpit di sebelah
kanan,
napkin di sebelah kiri, dan
mangkok sayur beserta sendoknya di tengah.
Ia melakukannya berurutan di depan keempat kursi
yang ada di meja itu. Selanjutnya ia teruskan ke meja nomor 11 dan 12. Mahnun
dan Iwan, temannya sesama pelayan di restoran ini, sedang mengecek nyala api
kompor di tiap-tiap meja. Meja-meja di restoran Jepang yang menyajikan Shabu-shabu dan Yakiniku sebagai menu utamanya, memang berbeda dengan meja-meja di
restoran lainnya. Bagian tengah meja sengaja dilubangi untuk meletakkan kompor
dan hotplate yang di atasnya lagi
diberi panci stainless kecil.
Tujuannya adalah agar para tamu bisa memasak sendiri bahan makanan mentah atau
setengah matang yang mereka ambil dari display.
Setelah kompor dinyalakan, seorang pelayan akan menuangkan kuah panas ke dalam
panci. Kemudian mereka bebas mengambil apa saja yang ada di display untuk direbus dalam kuah panas
itu atau dipanggang saja dengan bumbu saus di atas hotplate. Beraneka ragam sayur mayur, fillet aneka ikan laut, lidah sapi, daging sapi dan ayam, udang,
cumi, kepiting, bakso sapi, bakso ikan, atau beef burger, semuanya ditata cantik di dalam cooler dan di atas display
panjang yang di depannya dipasang kaca. Salad sayur dan buah sebagai makanan
pembuka dan aneka irisan buah beserta jajanan tradisional sebagai makanan
penutup juga telah disiapkan. Mereka bebas mengambilnya dengan piring-piring
kecil yang telah disediakan dalam bufet-bufet yang berjajar di depan display
untuk kemudian membawanya ke meja dan memasaknya sendiri. Jika sedang malas
memasak, pelayan akan memasakkannya untuk mereka. Mereka juga boleh makan dan
minum sepuasnya karena harga dihitung per orang, bukan per porsi makanan seperti
di restoran-restoran lain.
Naila
berkeliling sekali lagi ke ruangan utama restoran. Tampaknya semua sudah siap.
Meja-meja dan kursi tamu telah tertata rapi beserta perlengkapannya. Display makanan dan piring-piring dalam bufet sudah tertata apik. Display minuman
juga sudah lengkap. Hanya lukisan seorang perempuan Jepang berpakaian kimono
merah marun di dinding kanan restoran sedikit miring, Naila membetulkan
posisinya. Pak Imron, satpam restoran, membuka pintu gerbang, pertanda restoran
sudah siap beroperasi. Di lantai bawah ada 5 orang yang bertugas untuk shift 1. Lisil di meja kasir, Maria
sebagai petugas greeting di depan
pintu, Mahnun, Iwan, dan Naila sebagai pelayan, dan Ibu Ririn bertindak sebagai
pimpinan restoran. Di lantai atas beberapa koki dan asistennya bekerja
mempersiapkan segala keperluan menu display
dan beberapa menu tambahan.
Satu
jam setelah restoran dibuka biasanya masih belum banyak tamu yang datang.
Menjelang makan siang baru setiap meja di restoran ini akan penuh terisi. Naila masuk ke toilet sekedar untuk
merapikan diri. Ia membetulkan kuncir rambutnya. Dipandanginya wajahnya di depan cermin. Matanya terlihat lelah karena semalaman
ia begadang mengerjakan tugas kuliah. Naila membasuh muka, memakai bedak, dan
memoles tipis bibirnya dengan lipgloss
agar tidak kelihatan pucat.
Sudah
dua tahun lebih Naila bekerja sebagai pelayan di restoran Jepang ini, Ichiban Japanese Restaurant. Pekerjaannya
menuntut porsi tenaga fisik yang cukup besar. Begitu datang ke restoran ini, Naila
memulai pekerjaannya dengan mengelap piring, sendok, mangkuk-mangkuk nasi, dan
semua peralatan makan lainnya. Kemudian ia lanjutkan dengan melipat napkin, membersihkan meja, table setting, dan mengontrol ruangan.
Setelah persiapan ini selesai, ia dan teman-temannya sesama pelayan, harus
berdiri stand by untuk memastikan
bahwa semua yang dibutuhkan para tamu dilayani dengan baik. Mereka dituntut
untuk selalu ramah dan terlihat rapi. Apalagi jika ada reservasi untuk pesta
ulang tahun atau acara-acara penting perusahaan.
Pada Sabtu, Minggu, atau hari-hari libur
bisa dipastikan restoran akan penuh, bahkan tamu-tamu sampai mengantri di depan
restoran karena tidak mendapatkan meja. Pada hari-hari ini bisa dipastikan
seluruh pelayan, koki, dan asistennya harus kerja lembur beberapa jam. Memang
ada uang lembur yang diberikan sebagai kompensasinya, namun jumlahnya tidak
sebanding dengan kelelahan fisik yang dirasakan Naila. Belum lagi jika ada
tugas kuliah yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Sebenarnya Naila ingin
meninggalkan pekerjaan ini dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan
yang lebih menggunakan otak, bukan fisik. Naila ingin sekali mendapatkan pekerjaan
yang berhubungan dengan bahasa Inggris, bidang yang sangat disukainya. Tetapi
mencari pekerjaan di Surabaya tidaklah mudah. Setahun belakangan ini banyak
lamaran pekerjaan sudah ia kirimkan. Wawancara kerja pun telah ia jalani
berkali-kali tetapi hasilnya masih nihil. Bagi lulusan SMA yang hanya berbekal
sertifikat kursus komputer dan mengetik seperti Naila, mendapatkan pekerjaan
kantoran sama sulitnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Walaupun
begitu Naila harus bersyukur karena sarjana juga masih banyak yang menganggur
di kota ini. Apalagi dengan uang yang ia sisihkan sedikit demi sedikit dari
gajinya, Naila bisa kuliah. Ia kini
telah tercatat sebagai mahasiswi semester dua kelas sore di Fakultas Sastra
Inggris, Universitas DR. Soetomo (Unitomo) Surabaya. Impian yang sudah ia
angankan sejak masih duduk di bangku SMP, menjadi sarjana dan mendapatkan
pekerjaan layak sebagai orang kantoran. Impian pertama sedang ia tapaki.
Mudah-mudahan impian kedua juga segera ia gapai. Naila percaya biar pun
melelahkan, perjuangan akan sampai pada hasilnya. Ia yakin akan mampu
mewujudkan impiannya satu demi satu.
“Naila, ada bule!” teriak Mahnun dari luar toilet.
“Iya,” jawab Naila yang kemudian bergegas ke
ruang utama restoran.
“Good
afternoon, Sir! Can I help you?”
Kali
ini tamu pertamanya adalah dua pria asing yang sepertinya berasal dari Eropa.
Yang satu berpostur tinggi besar, rambutnya pirang, dan kulitnya kemerahan. Yang satu lagi kurus, tinggi, kepalanya
agak botak, dan berkumis. Dua-duanya
bermata biru.
“Good afternoon. Can I have other than
Shabu-shabu and Yakiniku?” jawab pria asing yang berpostur tinggi besar.
“Sure.
Other than Steaks, we have Thailand specialties. If you like spicy soup, we
have Tom Yam, or if you would like to eat bigger meal, we have fried rice and
noodles cooked with seafoods in Thailand’s seasonings.”
Ia melihat-lihat buku menu sebentar.
“I think
Tom Yam will be good. One medium beer for me, and a small plate of fruit salad.
“Okay, would you like your beer served
with ice, Sir?”
“No...no...just cold, but no ice.”
“Fine, and what would you like to eat,
Sir?” tanya Naila pada pria berkumis
yang duduk di sebelahnya.
“Give me fruit salad, Tenderloin steak, and
lemon tea with ice.” “Okay, let me summarize. One Tom Yam, one
medium cold beer without ice, two fruit salads, and one lemon tea with ice.
Anything else, Sir?”
“No, thank you.”
Naila
naik ke lantai 2 dan menyerahkan nota order tamunya pada koki. Selain Shabu-shabu dan Yakiniku, restoran ini juga menyediakan aneka steak dan beberapa menu masakan Thailand. Lima belas menit
kemudian, ia sudah kembali dan mempersilahkan kedua tamunya menikmati pesanan
mereka.
Satu hal lagi yang harus disyukuri Naila.
Di restoran ini ia selalu punya kesempatan untuk berlatih percakapan dengan
tamu-tamu asing yang makan di sini. Tentunya ini akan meningkatkan skill bahasa Inggrisnya. Untunglah dua
tahun ini Naila belajar bahasa Inggris secara intensif dari buku-buku, koran,
dan majalah bahasa Inggris sehingga ia bisa memahami dan merespon apa yang
dibicarakan tamu-tamu asing itu. Ia juga menerjemahkan artikel-artikel ringan
dari majalah dan koran bahasa Inggris untuk memperkaya kosa kata bahasa
Inggrisnya. Selain itu, mata
kuliah Speaking dan Listening Comprehension yang ia dapatkan
di kampus banyak membantu. Walaupun kadang-kadang Naila masih merasa kalau
bicara mereka sangat cepat dan intonasinya sulit ditirukan, ia tidak patah
semangat. PR-nya masih sangat banyak. Jalannya masih panjang. Masih banyak yang
harus ia pelajari demi menggapai impian-impiannya. Sesungging senyum terbentuk
di bibir Naila saat membayangkan kalau suatu hari ia akan pulang sebagai orang
yang sukses, berpendidikan, dan memiliki pekerjaan mapan.
*****
Sesosok pemuda berdiri di balik jendela. Pandangannya menerawang jauh ke luar,
menembus gumpalan awan-awan putih di langit Jakarta yang panas. Di kepalanya sedang terjadi pertarungan hebat. Dua hal yang menimbulkan keresahan bergelut sengit
dan sama-sama berusaha saling mengalahkan. Sebuah tekad
untuk mandiri dan rasa tidak sampai hati melihat mamanya memohon-mohon agar ia
pulang ke Palu. Empat tahun ia hidup di Jawa demi menyelesaikan studinya. Itu pun
setelah ia mati-matian membujuk mamanya agar mengizinkannya kuliah di Jawa.
Sekarang kuliahnya sudah selesai. Beberapa hari lalu ia diwisuda. Ia hanya
tinggal menunggu ijazahnya keluar minggu depan. Bukan karena ia tidak mau
berkumpul kembali dengan orangtua dan adiknya di kampung halaman atau meneruskan bisnis
properti yang dijalankan papanya di sana. Semuanya karena ia adalah seorang
lelaki. Dalam prinsipnya, lelaki tidak boleh seterusnya bergantung pada orangtua.
Ia harus bisa berdiri sendiri, mencari masa depannya sendiri, dan bertanggung
jawab penuh atas keluarganya nanti. Sudah cukup orangtuanya membiayai
sekolahnya hingga ia menjadi sarjana. Papa dan mamanya telah memenuhi segala kebutuhannya. Kasih sayang
dan materi, semuanya sudah diberikan orangtuanya lebih dari cukup, tak pernah kekurangan
sedikit pun. Sekarang saatnya ia hidup dan mengukir masa depannya sendiri. Ia bahkan
sudah memulainya beberapa bulan lalu setelah skripsinya
selesai. Tanpa sepengetahuan orangtuanya ia bekerja sama dengan dua orang
temannya, Rifki dan Mas Anang, menyewa sebuah tempat di Surabaya, tidak jauh dari
rumah kosnya. Di tempat itulah ia memulai usahanya. Bersama mereka, belajar
menjadi lelaki sejati, yang berjuang dengan tangan, kaki, dan keringatnya
sendiri. Ia ingin seperti kakaknya yang sudah memiliki bengkel mobil cukup
besar di Jakarta, hasil jerih payahnya sendiri.
Kalau saja matanya tidak
sayu dan pandangannya tidak redup, pemuda itu pasti sangat mempesona. Tubuh atletisnya
dibalut celana jeans hitam dan kemeja
kotak-kotak biru muda. Hidungnya mancung dan dua garis alisnya hampir bertaut.
Kulitnya kecoklatan dan rambut lurusnya yang dibiarkan sedikit gondrong tapi
rapi menjadikan ketampanannya sempurna. Sayang hatinya sedang gundah gulana sehingga keresahan
lebih menonjol daripada pesonanya. Ia seperti sedang dipaksa makan buah
simalakama. Jika tidak menuruti kemauan mamanya, ia takut hipertensi mamanya
akan kambuh lagi dan membuat kondisinya drop.
Dulu saat kakaknya pindah ke Jawa, tekanan darah mamanya pernah naik drastis dan dirawat beberapa hari di rumah
sakit. Ia tak ingin hal itu terulang lagi. Tetapi kalau ia menuruti kemauan
mamanya untuk pulang ke Palu dan membantu usaha papanya, sama saja ia melanggar
prinsipnya sendiri. Ia menggelengkan kepala, buntu. Sama sekali tidak ada
petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan. Gumpalan awan-awan putih yang
terhampar luas di atas sana tak mampu menghentikan pertarungan sengit yang
sedang berlangsung di kepalanya.
Di belakangnya, seorang perempuan berusia lima puluh
tiga tahun sedang menangis sesenggukan dalam pelukan Kak Lena, kakak
iparnya. Dadanya naik turun berusaha menahan isak. Tubuhnya sedikit lebih kurus
daripada lebaran lalu saat pemuda itu pulang. Sebagian kecil rambutnya mulai
memutih.
“Mama tak akan pulang
tanpa Erick!” katanya masih dalam tangis sesenggukan.
Kini pemuda itu bersimpuh
di depan mamanya. Kedua tangannya memeluk lutut mamanya dan matanya menatap
penuh harap ke wajah mamanya, memohon agar perempuan yang sangat dicintainya
itu bisa memahami keinginannya.
“Mama, mengerti Erick, Ma. Erick
laki-laki. Erick
harus belajar hidup. Erick ingin berbuat sesuatu yang membuat Mama dan papa bangga. Tolong,
Ma. Erick janji akan sering-sering telepon Mama.”
Perempuan
itu mendesah. Teringat kejadian yang sama ketika Emil, anak pertamanya,
memohon-mohon agar ia mengizinkannya pindah ke Jakarta demi merintis usahanya.
Sekarang ia dihadapkan pada situasi yang sama. Di satu sisi, ia tidak ingin
mengekang keinginan anak-anaknya. Di sisi lain, ia ingin anak-anaknya hidup di
dekatnya agar ia bisa melihat dan mengunjungi mereka setiap saat. Hatinya
selalu merasa tenteram bila ia telah memastikan bahwa anak-anaknya baik-baik
saja, sehat, bahagia, dan tak kekurangan apa pun. Sementara pindah ke Jawa
tidak mungkin ia lakukan. Baginya, Jawa, khususnya Jakarta dan Surabaya,
terlalu bising untuk dijadikan tempat tinggal. Jawa lebih cocok dijadikan
tempat berbisnis bagi orang-orang yang mencari uang dan kedudukan, bukan yang
menginginkan ketenangan hidup di usia senja seperti dirinya. Dan ia pun harus
menelan pil pahit itu, terpaksa mengizinkan anaknya tinggal jauh darinya.
Haruskah ia menelan lagi pil pahit itu demi Erick?
“Kalau hanya mendirikan usaha, di Palu juga bisa Erick. Papa
akan mengajari Erick berbisnis dan Mama juga tak perlu jauh dari Erick. Empat
tahun sudah cukup membuat Mama tersiksa. Apa nantinya anak-anak Mama akan hidup
menjauh dari Mama semua?”
Erick terdiam. Tangis mamanya membuat hatinya terasa
pilu. Ia mengerti benar betapa mamanya sangat
menyayanginya dan tak ingin jauh darinya. Kadang-kadang rasa sayang mamanya yang berlebihan membuatnya
terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya
meskipun sekarang mereka sudah dewasa. Setelah Kak Emil
dan keluarganya pindah ke Jakarta, mamanya semakin memperlakukan Erick
berlebihan. Ia menjadi lebih sentimentil, sensitif, dan ingin selalu berada di dekat anak-anaknya. Erick tahu, mamanya menginginkan anak perempuan dan setelah hampir 9 tahun
berusaha mendapatkan bayi lagi, adiknya, Ibra, terlahir laki-laki. Jadilah
mamanya memperlakukan mereka bertiga dengan lembut. Mamanya tidak pernah luput memperhatikan
hal-hal kecil yang sudah biasa mereka kerjakan sendiri. Selama di Surabaya pun,
mamanya sering menelepon Erick sekedar mengingatkan waktu makan dan belajarnya.
Mamanya sering tidak membedakan perlakuannya pada Ibra yang masih SMP dengan Erick
yang sudah mahasiswa. Hanya Kak Emil saja yang sudah tidak terlalu diperhatikan
karena sudah ada Kak Lena yang mengurusinya. Seandainya Ibra tidak sedang
mempersiapkan ujian kenaikan kelas, mamanya pasti akan mengajaknya serta ke
Surabaya untuk menghadiri wisudanya. Itu semua karena mamanya ingin selalu
berdekatan dengan anak-anaknya.
“Mama, Erick melihat peluang besar di Surabaya. Mama doakan Erick.
Kalau Erick berhasil dan bisnis Erick nanti sukses, Erick akan bawa Mama ke
Surabaya. Kita semua pindah ke Jawa dan berkumpul lagi, Ma. Erick janji.
Lagipula ada adik dan papa yang temani Mama, kan?”
“Nanti setelah lulus
sekolah, adikmu juga akan kuliah dan pindah ke Jawa, begitu kan Erick?”
“Mama…, Erick mohon, Ma.
Beri Erick waktu sebentar saja untuk membuktikan bahwa Erick mampu melakukan
sesuatu yang membuat Mama dan papa bangga.”
Kali ini Erick
membenamkan wajahnya ke pangkuan mamanya. Matanya terasa panas. Ia tidak tahu lagi cara apa yang harus ia
gunakan untuk membujuk mamanya agar mengizinkannya tinggal dan merintis usaha
di Surabaya.
“Mama sudah tua, Erick. Yang Mama inginkan hanya hidup tenang di
kampung bersama anak-anak Mama,” suara Mamanya melunak.
“Jangan bicara begitu,
Mama. Erick mohon, beri Erick kesempatan untuk melakukan sesuatu dengan usaha Erick sendiri.
Mama tak
perlu khawatir. Di Jawa ada Kak Emil dan Kak Lena. Kalau ada apa-apa, Erick bisa telepon mereka kan, Ma? Lagipula Surabaya-Jakarta hanya satu jam.
Kapan saja Erick mendapatkan kesulitan, Erick bisa minta tolong sama kakak.”
Nafas perempuan itu terasa sesak. Rupanya mau
tidak mau sebuah pil pahit harus ia telan lagi. Tak sampai hati ia melihat anak
kesayangannya memelas seperti itu. Ah, bukankah orangtua akan melakukan apa
saja untuk anak-anaknya sekali pun itu membuatnya tersiksa? Ia menggigit bibir, berusaha menerima
kenyataan ini sekali lagi.
“Baiklah, Nak. Mama kasih waktu Erick dua tahun. Kalau dalam dua tahun
Erick belum berhasil, Erick harus pulang ke Palu. Tak boleh ada alasan lagi.
Erick sanggup?”
“Sanggup, Ma. Erick tak
akan sia-siakan waktu yang Mama berikan.”
Ia bangkit dan memeluk mamanya. Kepalanya terasa ringan, dadanya mendadak sangat lapang. Pertarungan itu
telah selesai. Akhirnya ia mendapatkan izin dari mamanya untuk tinggal dan
merintis usaha di Surabaya. Ia rasa dua tahun akan cukup untuk bekerja keras
dan mengembangkan usahanya. Harus cukup,
bisnis ini harus sukses dalam waktu 2
tahun, tekad Erick dalam hatinya.
Kak Lena tersenyum lega.
Dua keinginan yang bertolak
belakang itu tidak akan pernah menemukan titik temu. Mamanya menginginkan
anak-anaknya hidup di Palu, kampung halaman mereka, sedangkan anak-anaknya
bersikeras ingin membawa orangtua mereka pindah ke Jawa. Tapi setidaknya salah
satu sudah ada yang mengalah. Ia meninggalkan mertua dan
adik iparnya berdua saja agar mereka lebih leluasa berbagi cerita dan kasih
sayang. Ia tahu mertuanya sangat menyayangi anak-anaknya, terlebih Erick yang
penurut dan tidak banyak tingkah. Ia juga memahami jiwa lelaki Erick yang ingin
berpetualang dan hidup mandiri karena suaminya juga memiliki jiwa yang sama. Ia mengerti benar kalau apa yang dirasakan
Erick sekarang ini sama persis dengan yang dirasakan suaminya beberapa tahun
lalu.
*****